SUMENEP, updatejatim.net — Festival Hadrah 2025 di Kecamatan Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, berhasil memukau ribuan pengunjung.
Festival tersebut diselenggarakan sejak 10 Juni dan akan berlangsung hingga 21 Juni 2025, festival tahun ini mencatat sejarah sebagai yang terbesar selama pelaksanaannya.
Ketua Panitia sekaligus Kepala Bapenda Sumenep, Faruk Hanafi, mengatakan sebanyak 50 grup hadrah dari berbagai pelosok desa diundang tampil dan berkompetisi untuk memperebutkan Piala Bupati Sumenep.
Namun lebih dari sekadar kompetisi, lanjut dia, festival ini menjadi cermin transformasi: dari ruang seni menjadi arena pemberdayaan masyarakat, dari pelestarian budaya menjadi sumbu pertumbuhan ekonomi lokal.
“Kami ingin menjadikan hadrah bukan hanya seni yang ditonton, tapi bagian dari gerakan kebudayaan dan ekonomi,” ujarnya. Rabu 18 Juni 2025
Faruk menegaskan bahwa festival ini dirancang sebagai ekosistem budaya berbasis masyarakat, yang menyatukan nilai spiritual, ekspresi seni, dan kekuatan ekonomi kerakyatan melalui pameran UMKM yang digelar bersamaan.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Pariwisata (Disbudporapar) Moh. Iksan menyampaikan bahwasanya hadrah di Sumenep tak bisa dilepaskan dari akar spiritual Islam lokal.
“Khususnya tradisi pesantren dan tarekat. Namun dalam perjalanannya, hadrah berkembang menjadi wadah ekspresi sosial yang membentuk identitas komunal. Ia dimainkan di perayaan maulid, hajatan, hingga unjuk rasa damai,” jelasnya.
“Hadrah punya ruh yang khas, ia bukan sekadar irama, tapi cara masyarakat Madura membangun harmoni dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan,” tegasnya.
Senada disampaikan oleh Wakil Bupati Sumenep, Imam Hasyim, bahwa festival ini bukan sekadar pelestarian bentuk seni, tapi juga pemulihan makna.
“Di tengah arus globalisasi, hadrah bisa menjadi jangkar identitas sekaligus wadah refleksi kolektif,” tuturnya.
Menurut Imam, festival ini juga mengirimkan sinyal kuat bagi regenerasi dalam seni hadrah sedang berlangsung. Banyak grup peserta tahun ini digerakkan oleh pemuda usia 15–25 tahun. Beberapa bahkan dibentuk di sekolah umum dan komunitas pemuda non-keagamaan.
“Mereka membawakan hadrah dengan semangat baru, namun tetap menjaga nilai-nilai spiritual dan estetika tradisi. Bagi sebagian mereka, hadrah bukan hanya warisan, tapi juga ruang pencarian jati diri,” ucapnya.
Di balik dentuman rebana, festival ini juga menjadi ruang hidup baru bagi pelaku UMKM lokal. Stan pameran digelar di area festival, menyajikan ragam produk seperti makanan tradisional, batik tulis, minyak atsiri, hingga kerajinan bambu.
“Festival ini menunjukkan bahwa ekonomi berbasis budaya bukan gagasan utopis. Ketika pelaku seni, pelaku usaha, dan pemerintah lokal bersinergi, dampaknya nyata dan berlapis ada dampak ekonomi, ada edukasi budaya, ada ruang kolaborasi antar generasi,” tukasnya.(DieBM)












