HMPG Sumenep Desak PT Garam Benahi Dugaan Skandal dan Kekacauan Internal, Ini Tanggapan Humas PT Garam.

Ketua HMPG Sumenep, Wafi Ilayul Fardan.

Sumenep, update jatim.id – Himpunan Masyarakat Petambak Garam Sumenep (HMPG-S) menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap isu-isu serius yang mencuat di tubuh PT Garam (Persero), sebuah BUMN strategis yang selama ini dipercaya mengelola aset negara dalam sektor pergaraman.

Ketua HMPG Sumenep, Wafi ilayul Fardan, menyesalkan dugaan Skandal praktik tidak transparan yang kini mengemuka di lapangan. Menurut mereka, sejumlah persoalan fundamental yang telah lama dibiarkan justru memperburuk citra dan efektivitas PT Garam dalam menjalankan perannya. Setidaknya ada tiga poin utama yang disorot.

Pertama, menurut Fardan, bahwa kerja sama antara PT Garam dengan pihak ketiga — baik kelompok tani, lembaga, maupun perorangan — terindikasi tidak memiliki standar yang jelas dan adil. Beberapa pola yang ditemukan di lapangan antara lain.

Skema bagi hasil 50:50 antara petani dan PT Garam. Sistem “osrameng” atau model target panen dalam satu musim. Dan Skema sewa lahan. Ada juga yang diduga hanya menyetor garam ala kadarnya namun tetap diperbolehkan menggarap lahan.

“Jika pola-pola ini memang benar terjadi tanpa dasar yang kuat dan legalitas yang jelas, maka pertanyaannya: ini kemitraan produktif atau justru praktik upeti terselubung?” kata Ketua HMPG Sumenep.

Ia menambahkan bahwa PT Garam sebagai BUMN seharusnya memiliki standar operasional dan transparansi yang bisa diuji secara hukum dan etika publik.

Lebih lanjut, Fardan juga menyoroti adanya indikasi pembiaran terhadap sejumlah pihak yang diduga bebas menggarap lahan milik PT Garam secara brutal, tanpa kontrol maupun kontrak yang sah.

“Fenomena ini telah memicu kecemburuan sosial di tengah masyarakat, terutama mereka yang selama ini mengikuti prosedur resmi,” tegasnya.

Pihaknya mempertanyakan apakah para penggarap ini merupakan ‘orang dalam’ PT Garam yang mendapat “izin tak resmi” karena setoran tertentu, atau hanya masyarakat yang bertindak semaunya karena lemahnya pengawasan.

Isu terakhir yang tidak kalah serius adalah maraknya praktik jual beli kontrak atau over kontrak. Dalam banyak kasus, individu atau kelompok yang telah memperoleh kontrak dari PT Garam kemudian justru memperjualbelikannya kepada pihak lain.

“Kondisi ini membuka ruang bagi konflik horizontal di masyarakat. Para petani garam menjadi korban tarik-menarik kepentingan, sementara PT Garam seperti lepas tangan,” ujarnya.

Selain itu, pihaknya juga Desak Evaluasi Total di Tubuh PT Garam, pihak manajemen PT Garam dan Kementerian BUMN untuk segera melakukan audit internal, meninjau ulang semua bentuk kerja sama, serta menertibkan pola kemitraan yang selama ini terkesan semrawut dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil.

“Kami berharap ada langkah konkret dari manajemen PT Garam. Jangan tunggu sampai konflik sosial pecah di lapangan. PT Garam harus ingat bahwa mereka adalah BUMN, bukan milik segelintir orang,” pungkasnya.

Menanggapi hal tersebut, Humas PT Garam, Miftahul Arifin, mengatakan bahwa kontrak kerja sama lahan memang pernah ada, namun sudah dihentikan sejak tahun 2020.

“Setelah 2020, tidak ada lagi kontrak kerja sama lahan dari PT Garam,” ujarnya.

Terkait dugaan monopoli atau oknum internal yang menguasai lahan, Miftahul menegaskan belum menemukan bukti valid. Meski begitu, pihaknya tetap membuka ruang laporan dari masyarakat.

“Kalau nanti ada bukti atau kongkalikong yang melibatkan pihak PT Garam maupun lainnya, silakan laporkan. Kami akan tindak tegas,” ujarnya.

Perlu diketahui, pihak Polemik Lahan bukan baru baru ini bergulir, akan tetapi sudah lama. Sehingga, diharapkan Pihak PT Garam bener menseriusi adanya problem tersebut. Mengingat PT Garam adalah Perusahaan Negara.