Kasus EDC Bank Jatim Sumenep: Kuasa Hukum Sebut Fajar Satria Jadi Korban Kriminalisasi, Pelaku Utama Justru Hilang

Foto : Kamarullah, kuasa hukum Fajar Satria dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Achmad Madani Putra & Rekan, dalam konferensi pers di kantornya, Sabtu 25 Oktober 2025

SUMENEP, updatejatim. id – Polemik dugaan korupsi mesin Electronic Data Capture (EDC) Bank Jatim Cabang Sumenep kian memanas. Kuasa hukum Fajar Satria, pemilik jasa transfer Bang Alief, menilai kliennya dikorbankan dalam pusaran kasus yang disebut sarat kepentingan.

Dalam konferensi pers yang digelar di kantornya, Sabtu, 25 Oktober 2025 Kamarullah dari LBH Achmad Madani Putra & Rekan menegaskan bahwa langkah penyidik melakukan penggeledahan dan penyitaan aset Fajar pada Jumat, 24 Oktober 2025 terlalu prematur dan tidak berbasis bukti kuat.

“Yang kami perjuangkan bukan pembelaan buta, tapi kebenaran. Fakta di lapangan justru memperlihatkan bahwa klien kami dijadikan sasaran untuk menutupi peran pihak lain,” katanya.

Menurut Kamarullah, Fajar Satria telah lama dikenal masyarakat Sumenep sebagai pelopor usaha layanan transfer komunitas. Jauh sebelum menjalin kerja sama dengan Bank Jatim, usahanya sudah berjalan mandiri dan memiliki sistem yang rapi.

“Bang Alief berdiri dari nol, membangun kepercayaan publik tanpa bantuan bank. Ia justru membantu banyak pelaku UMKM agar bisa bertransaksi digital,” tutur Kamarullah.

Ia menilai tuduhan yang diarahkan kepada kliennya tidak sebanding dengan fakta di lapangan, apalagi melihat rekam jejak Fajar sebagai mitra bisnis yang turut membantu memperluas jangkauan layanan Bank Jatim.
Pegawai Bank Jatim yang Serahkan EDC Kini Buron

Kejanggalan terbesar, kata Kamarullah, justru muncul dari sisi internal Bank Jatim. Ia menyebut Maya Puspitasari, pegawai bank yang menyerahkan mesin EDC kepada Fajar pada April 2019, telah ditetapkan sebagai tersangka namun tidak pernah diperiksa dan kini berstatus buron (DPO).

“Yang menyerahkan mesin malah lenyap, tapi klien kami yang selama ini bekerja sesuai kesepakatan justru dikriminalisasi. Ada apa dengan proses hukum ini?” tanyanya.

Lebih jauh, ia juga mempertanyakan mengapa Bank Jatim baru pada 2022 mengklaim adanya kerugian sebesar Rp23 miliar, padahal selama tiga tahun kerja sama berjalan tidak ada laporan audit mencurigakan maupun temuan kerugian.

“Kalau selama tiga tahun semuanya berjalan baik, lalu kenapa tiba-tiba muncul klaim rugi besar? Publik berhak tahu, siapa sebenarnya yang bermain di balik angka itu,” ujarnya.

Kamarullah menduga, kliennya dijadikan kambing hitam untuk menutupi praktik penyimpangan di tubuh internal Bank Jatim.

“Fajar bukan pegawai, ia mitra usaha. Kalau benar ada kerugian, tanggung jawab seharusnya dibagi. Tapi sekarang justru hanya satu pihak yang dituding bersalah. Ini jelas tidak adil,” tegasnya.

Dari hasil penggeledahan yang dilakukan Satreskrim Polres Sumenep bersama Kejaksaan Negeri Sumenep, sejumlah aset Fajar disita, di antaranya uang tunai Rp657 juta, logam mulia 5,7 kilogram, dua unit sepeda motor, serta satu ruko di Jalan Trunojoyo yang kini disegel.

Kasatreskrim Polres Sumenep AKP Agus Rusdiyanto membenarkan penggeledahan tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut penyidikan.

“Ada dugaan praktik fraud dalam pemanfaatan mesin EDC yang menyebabkan kerugian Bank Jatim hingga puluhan miliar rupiah. Proses penyidikan masih berjalan,” katanya kepada wartawan.

Langkah penyidik ini langsung menuai perhatian publik. Sejumlah pengamat hukum menilai, proses penyidikan harus dilakukan secara terbuka dan tidak boleh hanya menarget pihak eksternal.

Desakan serupa juga datang dari Barisan Keadilan Rakyat (BAKAR), kelompok masyarakat yang aktif mengawal isu korupsi di daerah.

“Jangan hanya pihak luar bank yang diproses. Oknum internal Bank Jatim yang diduga ikut menikmati hasil juga harus diseret ke meja hukum,” ujar salah satu aktivis BAKAR.

Kini, kasus dugaan korupsi EDC Bank Jatim Cabang Sumenep menjadi sorotan tajam masyarakat. Di tengah keheningan pelaku utama yang masih buron, publik terus bertanya: Apakah Fajar Satria benar pelaku kejahatan, atau justru korban permainan di balik layar lembaga keuangan besar?.