SUMENEP, updatejatim.net – Tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Batuan, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, kini tak hanya jadi persoalan teknis, tapi mengancam ekosistem sekitar.
Setiap hari, sekitar 36 ton sampah masuk ke TPA, jauh melebihi kapasitas pengolahan yang tersedia. Ironisnya, hanya 3–4 ton di antaranya yang mampu diolah menjadi energi terbarukan melalui mesin Refuse Derived Fuel (RDF).
“Kapasitas maksimal satu unit mesin RDF hanya sekitar 10 ton per hari. Namun yang bisa benar-benar kami kelola secara optimal hanya sepertiganya,” ungkap Deddy Surya, Kepala Bidang Persampahan DLH Sumenep. Selasa 8 Juli 2025
Deddy menjelaskan, kelebihan beban di TPA ini bukan hanya soal volume, tetapi juga menyangkut kualitas pengelolaan. Banyak sampah yang sebenarnya bisa didaur ulang malah bercampur dengan limbah organik dan non-organik lainnya.
“Kondisi ini menyebabkan proses pemilahan makin sulit, bahkan mengancam kinerja alat yang sudah ada,” katanya.
Tak sedikit warga sekitar TPA Batuan mengeluhkan bau menyengat dan potensi pencemaran tanah maupun air tanah akibat penumpukan sampah yang berkepanjangan. Namun di sisi lain, minimnya kesadaran memilah sampah dari sumbernya menjadi hambatan serius.
Merespons hal itu, DLH Sumenep kini mulai menggeser pendekatan. Alih-alih hanya mengandalkan mesin dan armada, mereka mulai membangun model kolaboratif berbasis komunitas.
Edukasi lingkungan di sekolah, penguatan bank sampah di desa, serta pelatihan pemilahan sampah di tingkat RT/RW menjadi prioritas baru.
“Masalah utama bukan kurang alat, tapi kurang kesadaran. Kalau masyarakat sadar, maka volume yang masuk ke TPA bisa ditekan. Program 3R bukan sekadar slogan, tapi harus dijalankan dari rumah tangga,” tegas Deddy.
Langkah lain yang tengah disiapkan adalah kerja sama dengan pelaku industri lokal dan UMKM daur ulang, guna membuka jalur ekonomi sirkular berbasis sampah.
DLH Sumenep juga tengah mengkaji kemungkinan memperluas zona RDF dan menambah modul mesin agar bisa memproses lebih banyak sampah.
Ia optimistis, bahwa solusi jangka panjang hanya bisa dicapai bila seluruh elemen masyarakat ikut terlibat aktif.
“Pemerintah tak bisa bekerja sendiri. Jika warga bisa melihat sampah sebagai sumber daya, bukan sekadar limbah, maka Sumenep akan jadi daerah percontohan pengelolaan sampah berbasis komunitas,” tukasnya.(DieBM)












